Selasa, 01 Mei 2018


MAKALAH SOSIOLOGI PEDESAAN
 “KEMISKINAN SEBAGAI PENYAKIT SOSIAL EKONOMI
PADA MASYARAKAT PETANI”




Oleh:
Efinur Farihah
16040564026

Dosen Pengampu:
Dr. Sugeng Harianto, M.Si.

PROGRAM STUDI S1 SOSIOLOGI
JURUSAN ILMU SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
 2018


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang ada. Berbagai macam faktor yang melatarbelakangi adanya kemiskinan diantaranya yaitu faktor ekonomi, sosial politik dan sebagainya. Kemiskinan menjadi salah satu masalah yang cukup serius bagi hampir  semua negara, mulai dari negara maju hingga negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Indonesia tidak luput dari masalah kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi masalah serius dan sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun dapat dikatakan masih besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 31,7 juta orang (Kompas, 20 September 2010). Tjondroengoro mengatakan, jumlah penduduk miskin sangat ditentukan oleh kriterium atau ukuran yang digunakan. Pada tahun 2008 bila kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin adalah orang yang berpenghasilan di bawah 1,00 dollar AS per kepala keluarga (KK), maka jumlah penduduk miskin mencapai 20 juta, bila 2,00 dollar AS per KK, maka jumlah penduduk miskin mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%) jumlah penduduk Indonesia. Berkaitan dengan fenomena kemiskinan di wilayah pedesaan ini, James C. Scott (1989) dengan meminjam metafora Tawney menggambarkan “ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkannya.” Metafora ini menggambarkan bahwa masyarakat desa hidup dalam kondisi kemiskinan. Kemiskinan masyarakat terlihat dari kehidupannya yang subsisten.

B. Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dari kemiskinan dan faktor apa saja yang mempengaruhi adanya kemiskinan?
2.    Bagaimana kemiskinan sebagai penyakit sosial ekonomi pada masyarakat petani?

C. Tujuan``
            1. Untuk mengetahui faktor yang dapat menyebabkan adanya kemiskinan dan strategi bertahan  hidup masyarakat petani
             2.Untuk mengetahui kemiskinan sebagai penyakit sosial ekonomi pada masyarakat. 

D. Manfaat
1.    Manfaat Teoritis
Bagi jurusan sosiologi, pembahsan makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi study/kajian sosiologi pedesaan.    
2.    Manfaat Praktis
Sebagai acuan dan referensi pada penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kemiskinan masyarakat petani di pedesaan serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.

BAB II
PEMBAHASAN
Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena sosial yang selalu menjadi atribut-atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati, seolah-olah kemiskinan identik dan selalu melekat di dalam struktur negara-negara dunia ketiga dan menjadi problem yang cukup serius untuk mendapatkan penaganan dari pada penyelengara negara. Dan walau telah banyak upaya yang dilakukan oleh para penyelengara negara untuk mengentaskan kemiskinan bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari penyelesaiannya. Soekanto (1995:406) berpendapat bahwa kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Strategi bertahan hidup rumahtangga miskin dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori, yaitu:
1. Mengatur Pola Makan
Dalam melakukan konsumsi mereka tidak pernah menjadikan paradigma gizi seimbang sebagai rujukan. Mereka mengembangkan konsumsi berorientasi pada kemampuan finansialnya pada hari itu. Dalam banyak kasus, rumahtangga miskin sehari-hari lebih disibukkan oleh upaya mereka mencari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hari itu. Karena rumahtangga miskin ini, oleh Harold dan Domar (Budiman, 1995), dicirikan oleh tiadanya tabungan atau investasi, maka pola konsumsi yang mereka kembangkan berdasarkan penghasilan yang mereka peroleh saat itu. Mereka tidak mempunyai preferensi untuk mengembangkan pola konsumsi untuk hari esok dan seterusnya. Seperti dijelaskan oleh Chambers (1988), pendapatan yang diperoleh habis dipakai untuk konsumsi hari itu.
2. Mengembangkan Ekonomi Subsisten
Menurut Hans-Dieter Evers (1995), untuk menutupi kekurangan pendapatan yang diterima dari pekerjaan utama banyak rumahtangga yang harus bertopang pada pinjaman. Namun terdapat satu sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang acapkali diabaikan yaitu produksi barang dan jasa dalam rumahtangga itu. Evers menyebut produksi barang dan jasa dalam rumahtangga itu sebagai produksi subsisten atau perekonomian subsisten. Dalam perekonomian seperti ini produsen sekaligus merupakan konsumen dan interaksi pasar tidak terjadi. Jika nilai-nilai produksi subsisten dihitung dengan harga pasar, maka nilai produksi subsisten itu sangat tinggi.
3. Gali Lubang Tutup Lubang
Rumahtangga miskin juga memilih utang menjadi salah satu mekanisme bertahan hidup. Mereka menganggap utang sebagai mekanisme yang rasional untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah-tengah kekurangan pendapatan. Meskipun menjadi pilihan rasional, namun tidak semua dari mereka memilih utang. Yang memilih utang adalah meraka yang berusia produktif yang mempunyai pekerjaan dan pendapatan. Sementara itu, mereka yang berusia tidak produktif, yang sehari-hari hidup tanpa pekerjaan dan pendapatan, tidak memilih mekanisme utang. Bagi mereka yang berusia tidak produktif, utang bukan pilihan rasional. Mereka melakukan kalkulasi secara rasional sebelum melakukan utang. Dalam kalkulasinya, mereka menganggap bahwa utang bukan pilihan yang rasional. Mereka tidak mempunyai pendapatan atau aset yang dapat dipakai untuk mengembalikan utang. Di lain pihak, mereka hidup di daerah perdesaan sangat kuat terikat oleh nilai-nilai sosial. Salah satu nilai sosial itu adalah kepercayaan dan kejujuran. Kepercayaan dan kejujuran inilah yang menjadi modal sosial (social capital) mereka. Mereka memang tidak mempunyai modal ekonomi (economic capital) dan modal manusia (human capital), namun mereka masih mempunyai modal sosial itu. Meskipun mereka miskin, dua modal sosial itu masih mereka pegang teguh. Mereka menyadari bahwa pelanggaran atau pengingkaran terhadap dua modal sosial itu akan mendatangkan sanksi sosial. Masyarakat di wilayah pedesaan akan menjatuhkan sanksi sosial berupa gossip bagi individu yang melanggar atau mengingkari dua modal sosial itu.

4. Ketergantungan pada Bantuan
Orang-orang miskin sebenarnya tidak pernah merasa pensiun dari pekerjaannya, karena sejak masih muda, mereka pun hanya bekerja di sektor informal seperti pedagang keliling, buruh tani dan buruh di perkebunan tebu. Pada saat masih muda dan produktif, mereka pun sebenarnya juga masuk kategori penduduk tidak produktif karena hanya mampu menghasilkan uang tidak lebih sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka mengaku hingga sekarang tidak pernah mempunyai tabungan atau investasi. Bila mempunyai tabungan atau investasi pun dalam jumlah kecil. Bila memiliki kelebihan penghasilan, mereka menyimpannya dalam bentuk barang, ternak, atau uang. Tabungan itu pun tidak berjangka panjang. Dalam jangka pendek mereka menggunakannya kembali tabungan itu untuk memenuhi kebutuhan dasar yang mendadak dan mendesak, seperti anggota keluarga sakit, biaya sekolah, memenuhi kewajiban adat, biaya pendidikan anak, dan sebagainya.
5. Pondok Pesantren sebagai Institusi Penitipan Anak
Pendapatan yang rendah di kalangan rumahtangga miskin tidak berarti bahwa anggota keluarganya akan mati kelaparan. Mereka bisa betahan hidup. Selain mereka mengatur pola makan, mengembangkan ekonomi subsisten, gali lubang tutup lubang, tergantung pada bantuan pemerintah dan dermawan, ada yang menggunakan mekanisme menitipkan anak-anaknya ke institusi penitipan anak. Dengan menitipkan anak-anaknya ke institusi penitipan anak dapat mengurangi beban yang harus ditanggung. Mereka paling tidak dapat mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan makan dan pendidikan. Selain itu, mereka mempunyai waktu dan kekebasan untuk mencari pendapatan. Salah satu institusi penitipan anak yang dipilih adalah pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan yang mengasramakan peserta didiknya.

BAB III
PENUTUP
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat petani menjadi masalah yang cukup serius. Adanya faktor yang melatarbelakangi adanya kemiskinan baik secara struktural maupun  kultural telah menjadi permasalahan bagi setiap masyarakat terutama masyarakat petani. Sehingga berbagai strategi bertahan hidup rumah tangga miskin telah dilakukan diantaranya : mengatur pola makan, mengembangkan ekonomi subsisten, gali lobang tutup lobang, ketergantungan pada bantuan, dan pondok pesantren sebagai institusi penitipan anak.

DAFTAR PUSTAKA
Harianto, Sugeng. 2012. Pembangunan Untuk Keluarga Miskin Kearifan Lokal dan Program Pengentasan Kemiskinan pada Masyarakat di Jawa Timur. Surabaya : Unesa University Press.
Harianto, Sugeng. 2018. Relasi Orang Miskin dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. (Diakses Online. www.researchgate.net.)
Ishartono, dkk. Potret Orang Miskin dari Perspektif Kekuatan. 118Share : Social Work Jurnal. ISSN:2339 -0042  (p) ISSN: 2528-1577  (e).
Legowo, Martinus., dkk. 2009. Pedagang dan revitalisasi pasar tradisional di surabaya: studi kasus pada pasar wonokromo dan pasar tambah rejo, surabaya. Jurnal Universitas Airlangga. (Diakses Online)
Sadewo, FX Sri., & Harianto, Sugeng. 2018. Pembangunan Untuk Keluarga Miskin Kearifan Lokal dan Program Pengentasan Kemiskinan pada Masyarakat di Jawa Timur. Journal of ResearchGate.