MAKALAH SOSIOLOGI PEDESAAN
“KEMISKINAN SEBAGAI PENYAKIT SOSIAL
EKONOMI
PADA MASYARAKAT PETANI”
Oleh:
Efinur Farihah
16040564026
Dosen
Pengampu:
Dr. Sugeng Harianto, M.Si.
PROGRAM STUDI S1 SOSIOLOGI
JURUSAN ILMU SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan
merupakan salah satu masalah sosial yang ada. Berbagai macam faktor yang
melatarbelakangi adanya kemiskinan diantaranya yaitu faktor ekonomi, sosial
politik dan sebagainya. Kemiskinan menjadi salah satu masalah yang cukup serius
bagi hampir semua negara, mulai dari
negara maju hingga negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Indonesia
tidak luput dari masalah kemiskinan, bahkan bisa dikatakan menjadi masalah serius
dan sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ke
tahun dapat dikatakan masih besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 31,7 juta orang
(Kompas, 20 September 2010). Tjondroengoro mengatakan, jumlah penduduk miskin
sangat ditentukan oleh kriterium atau ukuran yang digunakan. Pada tahun 2008
bila kemiskinan diukur menggunakan kriterium Bank Dunia, dimana orang miskin
adalah orang yang berpenghasilan di bawah 1,00 dollar AS per kepala keluarga
(KK), maka jumlah penduduk miskin mencapai 20 juta, bila 2,00 dollar AS per KK,
maka jumlah penduduk miskin mencapai 100 juta jiwa, atau hampir separuh (43,5%)
jumlah penduduk Indonesia. Berkaitan dengan fenomena kemiskinan di wilayah
pedesaan ini, James C. Scott (1989) dengan meminjam metafora Tawney
menggambarkan “ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat orang
yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai leher, sehingga ombak yang
kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkannya.” Metafora ini menggambarkan
bahwa masyarakat desa hidup dalam kondisi kemiskinan. Kemiskinan masyarakat
terlihat dari kehidupannya yang subsisten.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari kemiskinan dan faktor apa saja yang mempengaruhi adanya
kemiskinan?
2. Bagaimana
kemiskinan sebagai penyakit sosial ekonomi pada masyarakat petani?
C.
Tujuan``
1. Untuk mengetahui faktor yang dapat
menyebabkan adanya kemiskinan dan strategi bertahan hidup masyarakat petani
2.Untuk
mengetahui kemiskinan sebagai penyakit sosial ekonomi pada masyarakat.
D.
Manfaat
1. Manfaat
Teoritis
Bagi jurusan sosiologi, pembahsan
makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi study/kajian
sosiologi pedesaan.
2. Manfaat
Praktis
Sebagai acuan dan referensi pada
penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kemiskinan masyarakat
petani di pedesaan serta menjadi bahan kajian lebih lanjut.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kemiskinan
bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena
sosial yang selalu menjadi atribut-atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena
ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju
yang memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati, seolah-olah kemiskinan
identik dan selalu melekat di dalam struktur negara-negara dunia ketiga dan
menjadi problem yang cukup serius untuk mendapatkan penaganan dari pada
penyelengara negara. Dan walau telah banyak upaya yang dilakukan oleh para
penyelengara negara untuk mengentaskan kemiskinan bagaikan mengurai benang
kusut yang sulit dicari penyelesaiannya. Soekanto (1995:406) berpendapat
bahwa kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga
tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
Strategi
bertahan hidup rumahtangga miskin dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori,
yaitu:
1. Mengatur
Pola Makan
Dalam melakukan konsumsi mereka tidak pernah
menjadikan paradigma gizi seimbang sebagai rujukan. Mereka mengembangkan
konsumsi berorientasi pada kemampuan finansialnya pada hari itu. Dalam banyak
kasus, rumahtangga miskin sehari-hari lebih disibukkan oleh upaya mereka
mencari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hari itu. Karena rumahtangga miskin
ini, oleh Harold dan Domar (Budiman, 1995), dicirikan oleh tiadanya tabungan
atau investasi, maka pola konsumsi yang mereka kembangkan berdasarkan
penghasilan yang mereka peroleh saat itu. Mereka tidak mempunyai preferensi
untuk mengembangkan pola konsumsi untuk hari esok dan seterusnya. Seperti
dijelaskan oleh Chambers (1988), pendapatan yang diperoleh habis dipakai untuk
konsumsi hari itu.
2.
Mengembangkan Ekonomi Subsisten
Menurut
Hans-Dieter Evers (1995), untuk menutupi kekurangan pendapatan yang diterima
dari pekerjaan utama banyak rumahtangga yang harus bertopang pada pinjaman.
Namun terdapat satu sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang acapkali
diabaikan yaitu produksi barang dan jasa dalam rumahtangga itu. Evers menyebut
produksi barang dan jasa dalam rumahtangga itu sebagai produksi subsisten atau
perekonomian subsisten. Dalam perekonomian seperti ini produsen sekaligus
merupakan konsumen dan interaksi pasar tidak terjadi. Jika nilai-nilai produksi
subsisten dihitung dengan harga pasar, maka nilai produksi subsisten itu sangat
tinggi.
3.
Gali Lubang Tutup Lubang
Rumahtangga
miskin juga memilih utang menjadi salah satu mekanisme bertahan hidup. Mereka
menganggap utang sebagai mekanisme yang rasional untuk memenuhi kebutuhan dasar
di tengah-tengah kekurangan pendapatan. Meskipun menjadi pilihan rasional,
namun tidak semua dari mereka memilih utang. Yang memilih utang adalah meraka
yang berusia produktif yang mempunyai pekerjaan dan pendapatan. Sementara itu,
mereka yang berusia tidak produktif, yang sehari-hari hidup tanpa pekerjaan dan
pendapatan, tidak memilih mekanisme utang. Bagi mereka yang berusia tidak
produktif, utang bukan pilihan rasional. Mereka melakukan kalkulasi secara
rasional sebelum melakukan utang. Dalam kalkulasinya, mereka menganggap bahwa
utang bukan pilihan yang rasional. Mereka tidak mempunyai pendapatan atau aset
yang dapat dipakai untuk mengembalikan utang. Di lain pihak, mereka hidup di
daerah perdesaan sangat kuat terikat oleh nilai-nilai sosial. Salah satu nilai
sosial itu adalah kepercayaan dan kejujuran. Kepercayaan dan kejujuran inilah
yang menjadi modal sosial (social capital) mereka. Mereka memang tidak
mempunyai modal ekonomi (economic capital) dan modal manusia (human
capital), namun mereka masih mempunyai modal sosial itu. Meskipun mereka
miskin, dua modal sosial itu masih mereka pegang teguh. Mereka menyadari bahwa
pelanggaran atau pengingkaran terhadap dua modal sosial itu akan mendatangkan
sanksi sosial. Masyarakat di wilayah pedesaan akan menjatuhkan sanksi sosial
berupa gossip bagi individu yang melanggar atau mengingkari dua modal sosial
itu.
4. Ketergantungan pada Bantuan
Orang-orang miskin sebenarnya tidak pernah merasa
pensiun dari pekerjaannya, karena sejak masih muda, mereka pun hanya bekerja di
sektor informal seperti pedagang keliling, buruh tani dan buruh di perkebunan
tebu. Pada saat masih muda dan produktif, mereka pun sebenarnya juga masuk
kategori penduduk tidak produktif karena hanya mampu menghasilkan uang tidak
lebih sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka mengaku hingga sekarang
tidak pernah mempunyai tabungan atau investasi. Bila mempunyai tabungan atau
investasi pun dalam jumlah kecil. Bila memiliki kelebihan penghasilan, mereka menyimpannya
dalam bentuk barang, ternak, atau uang. Tabungan itu pun tidak berjangka
panjang. Dalam jangka pendek mereka menggunakannya kembali tabungan itu untuk
memenuhi kebutuhan dasar yang mendadak dan mendesak, seperti anggota keluarga
sakit, biaya sekolah, memenuhi kewajiban adat, biaya pendidikan anak, dan
sebagainya.
5. Pondok
Pesantren sebagai Institusi Penitipan Anak
Pendapatan
yang rendah di kalangan rumahtangga miskin tidak berarti bahwa anggota
keluarganya akan mati kelaparan. Mereka bisa betahan hidup. Selain mereka
mengatur pola makan, mengembangkan ekonomi subsisten, gali lubang tutup lubang,
tergantung pada bantuan pemerintah dan dermawan, ada yang menggunakan mekanisme
menitipkan anak-anaknya ke institusi penitipan anak. Dengan menitipkan anak-anaknya
ke institusi penitipan anak dapat mengurangi beban yang harus ditanggung.
Mereka paling tidak dapat mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan makan dan
pendidikan. Selain itu, mereka mempunyai waktu dan kekebasan untuk mencari
pendapatan. Salah satu institusi penitipan anak yang dipilih adalah pondok
pesantren. Pondok pesantren merupakan institusi pendidikan keagamaan yang
mengasramakan peserta didiknya.
BAB
III
PENUTUP
Kemiskinan yang terjadi
pada masyarakat petani menjadi masalah yang cukup serius. Adanya faktor yang
melatarbelakangi adanya kemiskinan baik secara struktural maupun kultural telah menjadi permasalahan bagi setiap
masyarakat terutama masyarakat petani. Sehingga berbagai strategi bertahan
hidup rumah tangga miskin telah dilakukan diantaranya : mengatur pola makan,
mengembangkan ekonomi subsisten, gali lobang tutup lobang, ketergantungan pada
bantuan, dan pondok pesantren sebagai institusi penitipan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Harianto, Sugeng. 2012. Pembangunan Untuk
Keluarga Miskin Kearifan Lokal dan Program Pengentasan Kemiskinan pada
Masyarakat di Jawa Timur. Surabaya : Unesa University Press.
Harianto, Sugeng. 2018. Relasi Orang Miskin
dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. (Diakses Online.
www.researchgate.net.)
Ishartono, dkk. Potret Orang Miskin dari
Perspektif Kekuatan. 118Share : Social Work Jurnal. ISSN:2339 -0042
(p) ISSN: 2528-1577 (e).
Legowo, Martinus., dkk. 2009. Pedagang dan revitalisasi pasar
tradisional di surabaya: studi kasus pada pasar wonokromo dan pasar tambah
rejo, surabaya. Jurnal Universitas Airlangga. (Diakses Online)
Sadewo, FX Sri., & Harianto, Sugeng. 2018. Pembangunan
Untuk Keluarga Miskin Kearifan Lokal dan Program Pengentasan Kemiskinan pada
Masyarakat di Jawa Timur. Journal of ResearchGate.